askep

Pengembalian Fungsi fisik.

Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan batuk efektf, latihan mobilisasi dini.
Latihan-latihan fisik : Latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot bokong, Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.

F.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri
Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri yang dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri dan mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke).
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik dan sering dapat diperkirakan. Kenyataannya, setiap orang mempunyai jaras nyeri yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional, pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan pasien. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri, sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat menahan nyeri sebelum memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone & Burke).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:
1. Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Lebih berpengalarnan individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mencrima peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannva tidak adekuat (Smeltzer & Bare).
Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat, tidak menyadari seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti. Umumnya, orang yang sering mengalami nyeri dalam hidupnya, cenderung mengantisipasi terjadinya nyeri yang lebih hebat (Taylor & Le Mone).

2. Kecemasan
Toleransi nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat ditoleransi lagi, beragam diantara individu. Toleransi nyeri menurun akibat keletihan, kecemasan, ketakutan akan kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi sosial, perubahan dalarn identitas peran, kehilangan kemandirian dan pengalarnan masa lalu (Smeltzer & Bare).
Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi tentang hasil yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak obat-obatan untuk nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur operasi yang sama tetapi tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi lebih buruk ketika kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le Mone).
Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri (Smeltzer & Bare).
Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan pasien menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke).
Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus rafe magnus dan lokus seruleus. Ia berperan dalam sistem analgetik otak. Serotonin menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis mensekresi enkefalin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan . Jadi,dpresinaptik dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan A sistem analgetika ini dapat memblok sinyal nyeri pada tempat masuknya ke medulla spinalis (Guyton).
Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bµ,re,).

3. Umur
Umur dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau ada sejak dilahirkan (Poerwadarminta). Menurut Ramadhan (2001), umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.
Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak, normalnya kondisi nycri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal (Le Mone & Burke).
Menurut Giuffre, dkk. (1991), cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes), akan tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Smeltzer & Bare).
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia cenderung mengabaikan lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan normal. Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan karena mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius. Penilaian tentang nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan pereda ketimbang didasarkan pada usia (Smeltzer & Bare).

4. Jenis Kelamin
Menurut Oakley (1972) jenis kelarnin (sex) merupakan perbedaan yang telah dikodratkan Tuhan, olch sebab itu, bersifat permanen. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak sekadar bersifat biologis, akan tetapi juga dalam aspek sosial kultural. Perbedaan secara sosial kultural antara laki-laki dan perempuan merupakan dampak dari sebuah proses yang membentuk berbagai karakter sifat gender. Perbedaan gender antara manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh berbagai faktor terutarna pembentukan, sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi baik secara sosial kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar & Anshari).
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan jenis kelarnin (Noor).
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dapat belajar dengan cepat untuk mengabaikan nyeri daripada mengeksploitasi nyeri untuk rnemperoeh perhatian dan pelayanan dari anggota keluarga. Anak-anak mungkin belajar bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyeri. Anak perempuan boleh pulang ke rumah sambil menangis ketika lututnya terluka, sedangkan anak laki-laki diberitahu untuk berani dan tidak menangis. Laki-laki dan perempuan dewasa mungkin berpegang pada pengharapan gender ini sehubungan dengan komunikasi nyeri (Taylor & Le Mone).
Dalam banyak budaya, laki-laki merupakan figur yang dominan. Dalam budaya yang menganut paham ini, laki-laki membuat keputusan untuk anggota keluarga lain seperti halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya dimana laki-laki merupakan figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif. Dalam keluarga Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering menjadi figur yang dominan (Taylor & Le Mone).
Pengetahuan tentang anggota keluarga yang dominan sangat penting sebagai bahan pertimbangan untuk rencana keperawatan. Jika anggota keluarga dominan yang sakit maka kemungkinan anggota keluarga lain akan menjadi cemas dan bingung. Jika anggota keluarga non dominan yang sakit, maka ia akan meminta pertolongan secara verbal (Taylor & Le Mone).
Pada tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian tentang nyeri pada wanita dan mengusulkan implikasi untuk praktik klinik. Meskipun penelitian tidak menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Taylor & Le Mone).

5. Sosial Budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku, dan nilai keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi individu terhadap nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya mungkin ditunjukkan oleh budaya yang lain (Taylor & Le Mane).
Menurut Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada cara seseorang bereaksi terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri). Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer & Bare).
Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu kita untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare).

6. Nilai Agama
Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan mengurangi persembahan mereka (Taylor & Le Mane).

7. Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat
Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri seseorang. Banyak orang yang merasa lingkungan pelayanan kesehatan yang asing, khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang sama di ruang perawatan intensif, dapat menambah nyeri yang dirasakan.
Pada beberapa pasien, kehadiran keluarga yang dicintai atau teman bisa mengurangi rasa nyeri mereka, namun ada juga yang lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk rnemperoleh perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le Mone).
G. Prinsip
Pengelolaan Nyeri Pascabedah
  1. Mencegah atau
    meminimalkan terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral
  2. Sensitisasi perifer dapat ditekan dengan: anastesi local dan NSAIDs (COX1
    atau COX2)
  3. Sensitisasi sentral dapat ditekan dengan: Opioid (morfin, petidin, fentanil)
    dan m agonist (tramadol)
  4. Kombinasi keduanya (balans analgesia) : NSAIDs + opioid à synergism

Tindakan
Nonfarmakologis.
Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai
satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu, banyak aktivitas
kaperawatan nonfarmakologis yang dapat membantu dalam menghilangkan nyeri.
Meskipun asda beberapa lapran anekdot mengenai ketidakefektifan
tindakan-tindakan ini, sedikiy diantaranya yang belum dievaluasi melalui
penelitian riset yang sistematik. Metode pereda nyeri nonfarmakologis biasanya
mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan
pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut mungkin dipelukan atau sesuai
untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau
menit. Dalam hal ini, terutama saat nyeri hebat yang berlangsung berjam-jam
atau berhari-hari, mengkombinasikan teknik nonfarmakologis dengan o bat-obatan
mungkin cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri.

Stimulasi dan
Masase Kutanus.
Terori gate control nyeri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bertujuan
menstimulasi serabut-serabut yamg menstransmisikan sensasi tidak nyeri memblok
atau menurunkan transmisi, impuls nyeri. Beberapa strategi penghilan nyeri
nonfarmakologis. Termasuk menggosok kulit dan menggunakan panas dan dingin,
adalah berdasarkan mekanisme ini.
Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada
punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama
seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control
desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat
relaksasi otot.

Terapi Es dan
Panas.
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif
pada beberapa keadaan, namun begitu, keefektifannya dan mekanisme kerjanya
memerlukan studi lebih lanjut. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-noniseptor) dalam reseptor yang sama
seperti pada cedera.
Terapi es dapat memnurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor
nyeri dan subkutan lain [ada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi.
Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera
terjadi. Cohn dkk. (1989) menunjukkan bahwa saat es diletakkan disekitar lutut
segara setelah pembedahan dan selama 4 hari pasca operasi, kebutuhan anlgesik
menurun sekitar 50%.
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu area
dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.
Namun demikian, menggunaka panas kering dengan lampu pemanas tampak tidak
seefektif penggunaan es (Nam & Park, 1991). Baik terapi panas kering dan
lembab kemungkinan memberi analgesia tetapi penelitian tambahan diperlukan
untuk memehami mekanisme kerjanya dan indikasi penggunaannya yang sesuai. Baik
terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan
cermat untuk menghindari cedera kulit.

Stimulasi Saraf
Elektris Transkutan
Stimulasi saraf transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai
dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan
, menggetar atau menegung pada area nyeri. TENS telah digunakan baik pada nyeri
akaut dan kronik. TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi
reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut
yang menstrasmisikan nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori nyeri gate
control. Reseptor tidak nyeri diduga memblok transmisi sinyal nyeri ke otak
pada jaras asendens saraf pusat. Mekanisme ini akan menguraikan keefekitan
stimulasi kutan saat digunakan pada araea yang asama seperti pada cedera.
Sebagai contoh, saat TENS digunakan apda pasien pasca operatif elektroda
diletekkan disekitar luka bedah. Penjelasan lain untuk keefektifan TENS adalah
efek placebo (pasien mengharapkannya agar efektif) dan pembentukan endorphin,
yamhjuga memblok transmisi nyeri.
Riset telah menuinjukkan bahwa pasien yang telah menerima pengobatan TENS
(placebo) yang nyat atau pura-pura selain perawatan standar, akan melaporkan
jumlah pereda nyerimyang sama lebih bnesar efeknya daripada pereda nyeri yang
diperoleh dengan pengobatan standar saj (Conn dkk.). Beberapa pasien, terutama
pasien dengan nyeri kronis, akan melaporkan penurunan nyeri sebanyak 50% dengan
menggunakan TENS. Pasien-pasien lainnya tidak merasakan manfaatnya. Pasien mama
yang dapat ditolong tidak dapat diprediksai. Bila pasien bener-bener mengalami
peredaan nyeri, peredan ini biasanya brawitan cepat terapi engan cepat
berkurang saat stimulator dimatikan.

Distraksi.
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selai pada
nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan
mekanisme yang bertnggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya ( Arntz
dkk., 1991; Devine dkk., 1990). Sesorang, yang kurang menyadari adanya nyeri
atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri
dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi
nyeri dengan mensyimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit
stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung
pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain
nyeri. Peredaan nyeri secara umum meningkat dalam hubungan langsung engan
parsitipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang dipakai dan minat
individu dalam stimuli. Karenanya, stimuli penglihatan, pendengaran, dan
sentuhan mungkin akan efektif dalam menurunkan nyeri disbanding stimuli satu
indera saja.
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton sampai menggunakan
aktivitas fisik an mental yang sangat kompleks. Kunjungan dari kelarga dan
teman-teman sangat efektif dalam meredakan nyeri. Melihat filmlayar lebar
dengan ”surround sound” melalui headphone dapat efektif (berikan yang dapat
diterima oleh pasien). Orang lainnya mungkin akan mendapat peredaan permainan
dan aktivitas (mis., catur) yang membutuhkan konsentrasi. Tidak semua pasien
mencapai peredaan melalui distraksi, terutama mereka yang dalam nyeri hebat,
pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta dalam
aktivitas fisik atau mental yang kompleks.
Seseorang yang tidak mendapat manfaat dari distraksi harus dipikirkan. Pasien
yang menggunakan pompa ADP, selama waktu distraksi efekatif mungkun tidak menggunkan
analgesia apapun. Tekinik distraksi biasanya berakhir mendadak (y.i.,
aktivitasnya berakhir atau film yang ditonton berakhir) dan pasien dibiarkan
dalam kadar opioid subtrapeutik dalam serum. Bila distrksi intermiten digunakan
untuk meredakan nyeri, input opioid kadar dasar melelui pompa ADP mungkin
diresepkan, sehingga ketika distraksi berakhir, tidak akan diperlukan untuk
melakukan pengejaran kadar dalam serum.

Teknik Relaksasi.
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan
ketegangan otot yang menunjang nyeri. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa
relaksasi efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner dan Jensen, 1993;
Altmaier dkk. 1992). Beberapa penelitian, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa
relaksasi ecektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Lorenti, 1991; Miller
& Perry, 1990). Ini mungkin karena relatif kecilnya otot-otot skeletal
dalam nyeri pasca operatif atau kebutuhan pasien untuk melakukan teknik
relaksasi tersebut agar efektif. Teknik tersebut tidak mungkin dipraktekkan
jika hanya diajarkan sekali, segera sebelum operasi. Pasien yang sudah
mengetahui tentang teknik relaksasi mungkin hanya diingatkan untuk menggunakan
teknik tersebut untuk menurunkan atau mencegah menigkatnya yeri
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi
lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan
dan nyaman. Irama yang konstan dapat diprtahankan dengan menghitung dalam hati
dan lambat bersama setiap inhalasi (” hirup, dua, tiga ”) dan ekhalasi (
hembusakn, dua, tiga ). Pada saat perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat
membantu bila menghitung dengan keras bersama pasien oada awalanya. Napas yang
lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik distraksi. Teknik
relaksasi, juga tindakan pereda nyeri noninvasif lainnya, mungkin memerlukan
latihan sebelum pasien menjadi terampil menggunkannya.
Hampir semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode-metode
relaksasi. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan
keletihan dan ketegagan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang
meningkatkan nyeri.

Imajinasi
Terbimbing.
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara
yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Sebagai
contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri
atas menggabungkan suatu napas berirama lambat denfgan suatu bayangan mental
relaksiasi dan kenyamanan. Dengan mata terpejam, individu diinstruksikan untuk
membayangkan bahwa setiap napas yang diekhalasi secara lambat ketegangan otot
dan ketidak nyaman dikeluarkan, menyebakan tubuh yang rileks dan nyaman. Setip
kali menghirup napas, pasien harus membayangkan energi penyembuh dialairkan ke
bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas di hembuskan, pasien diinstruksikan
untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan
ketegangan.
Jika imajinasi terpadu diharapkan agar efektif, doibutuhkan waktu yang banyak
untuk menjelaskan tekniknya dan waktu untuk pasien mempraktekkannya. Biasanya,
pasien diminta untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing selama sekitar 5 menit,
tiga kali sehari. Bebrapa hari praktik mungkin dierlukan sebelum intensitas
nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi
terbimbing saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut
selam berjam-jan setelah imajinasi digunakan. Pasien harus diinformasikan bahwa
imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi pada beberapa orang. Imajinasi
terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk pengobatan yang
telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini
efektif.

Hipnosis.
Hipnosis efktif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang
dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu dalam
memberikan peredaan pada nyeri terutama dalam situasi sulit ( mis., lika bakar
). Mekanisme bagaimana kerjanya hipnosis tidak jelas tetapi tidak tampak
diperantari oleh sistem endorfin. (Moret dkk.,1991). Keefektifan hipnosis
tergantung pada kemudahan hipnotik individu. Pada beberapa kasus hipnosis dapat
efekatif pada pengobatan pertama; keefektifannya meningkat dengan tambahan sel
hipnotik berkutnya. (Lewis,1992). Bagaimanapun pada beberapa kasus tekinik
inimtidak akan bekerja. Pada kebenyakan situasi hipnosis harus dicetuskan oleh
orng yang terlatih secara khusus ( seringkali seoramg psikolog atau perawat
dengan pelatihan yang dikhususkan untuk hipnosis) dan dapat efektif selain pengunaan
analgesik standar.

Metoda Bedah-Neuro
dari Penatalaksanaan Nyeri.
Beberapa pendekatan bedah neuro tersedia dan telah digunakan secara berhasil
bagi pasien yang nyerinya tidak dapat dihilangkan atau dikontrol secara
memuaskan dengan medikasi dan pendekatan nonbedah lainnya.
(Smeltzer & Bare).

Sumber:
  • Black, M.J,
    Ester M & Jacobs. (1997). Medikal Surgical Nursing; Clinical Management For
    Continvity of Care. WB Saunder Company.
    Tokyo
  • Corwin, E.J. (1997). Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
  • ERB, Kozier, Blais & Wilkinson (1995) Fundamental Of Nursing ; Consepts,
    Process, And Practice II, Addison Wesley Publishing Company.
  • Gabriel, F.J. (199 Fisika Kedokteran. Penerbit Buku
    Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
    Jakarta.
  • Gibson, John (1992). Diagnosa Gejala Penyakit Untuk Perawat. Penerbit Yayasan
    Essentia Media
    Yogyakarta.
  • Howe, L.G & F.I.H Whitehead. (1992). Lokal Anaesthesia In Dentistry. Alih
    Bahasa Lilian Yuwono. Penerbit Hipokrates.
    Jakarta
  • Junaidi, P (Et.Al). 1997. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit Media
    Aesculapius FKUI.
    Jakarta
  • Lee, M.Jenifer (1990). Segi Praktis Fisioterapi. Binarupa Aksara. Jakarta
  • Long, C.B. (1996). Medikal Surgical Nursing. Alih Bahasa Oleh Yayasan Ikatan
    Alumni Pendidikan Keperawatan.
    Bandung
  • Soeparman & Sarwono W (1999). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Penerbit
    Balai Penerbit FKUI.
    Jakarta
  • Taylor, C, Carol L & Pricilla.L. (1997). Fundamental Of Nursing ; The
    Art and Science of Nursing. Lippicott Philadelphia


Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top