Karya : Ratna Indraswari Ibrahim
Tom,
kau masih ingat kan, ketika ibunya Klown meninggal (badut yang kita sayangi
sejak kecil), berduyun-duyun orang bertakziyah (waktu itu kita baru berumur 10
tahun).Di sudut rumah ini kutemukan pak Klown buru-buru menghapus air matanya.
Sesungguhnya air mata itu seperti rangkaian bunga melati yang harum dan jatuh
satu per satu!Aku tercengang!Setelah peristiwa itu (yang selalu menjadi
obsesiku), bertahun-tahun kemudian, aku bertemu lagi dengan pak Klown, secara
tidak sengaja dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Malang dengan kereta api.
Kami duduk bersebelahan, dia segera tahu siapa aku.Pak Klown tersenyum
kepadaku.
***
Tom, hal ini belum pernah kuceritakan kepadamu. Setiap kali
sendirian, aku merasa melihat lagi air mata pak Klown.Di kereta api ini
beberapa orang menghampiri dan menyalami pak Klown. (Mereka kelihatan
tersenyum, bahkan ada beberapa yang tertawa geli). Padahal aku tahu, pak Klown
tidak sedang melawak. Ketika rombongan itu sudah pergi, pak Klown menoleh (aku
sedang membaca buku).
”Aku
senang, melihat kau suka membaca!”
”Pak
Klown juga membaca?”
”Yah,
aku membaca setiap kali ada kesempatan.”
”Maaf,
di setiap lakon yang kulihat, peran pak Klown kok cuma jadi pembantu tua yang
bodoh!”
”Ya, aku sudah tua dan hanya berperan itu-itu saja. Namun bukan berarti, aku
tidak butuh membaca buku. Menurutku peran itu tidak hanya menampilkan
kebodohan, tapi cara kita menertawakan diri sendiri. Ini sulit, karena ego
melindungi kelemahan dan perlu keberanian untuk menetralisir ego itu.”
Aku Ona, perempuan muda (dua puluh dua tahun) melihatnya. Dan
kukatakan, ”Aku akan belajar dengan pak Klown selama libur semester ini. Aku
jenuh mempelajari ilmu di bangku kuliah.”
”Aku
suka ngobrol dengan kamu.”
***
Tom, kemudian dia tidur dalam perjalanan yang jauh ini.
Entahlah, mengapa baru sekarang aku menceritakan kepadamu sejujur mungkin
tentang pak Klown.
Klown
terbangun lagi. ”Ini tidur yang nyenyak sekali, kita sudah sampai di Jogja? Kau
tahu, kami pernah manggung di kota ini. Tapi yang datang tidak banyak, karena
di panggung lain ada musik dari Jakarta. Beberapa temanku sedih dan bilang,
kita sudah terlampau tua untuk digemari anak-anak muda. Melihat kursi yang
hanya terisi beberapa orang, tiba-tiba kami semua merasa sedih dan menangis
bersama. Ketika dalam situasi kacau, kami harus naik panggung! Namun, kala itu
para penonton tertawa sembari memegang perutnya.Gemuruh tawa mereka luar biasa.
Padahal saat itu, salah seorang teman kami ayahnya seminggu yang lampau meninggal,
tapi aktingnya luar biasa, dialah yang menyulut tawa para penonton.”Tom, aku
nyeri mendengar buntut percakapan itu. Aku kira selama ini, apa pun yang dia
lakukan di panggung mengalir begitu saja.
”Jadi
selama ini pak Klown akting?”
”Aku
memang harus belajar keras untuk akting seperti itu. Padahal, selama ini aku
tidak pernah berpikir untuk jadi pelawak yang harus mengerti filosofi
kehidupan. Waktu itu aku cuma menggantikan seorang senior yang sakit dan
kulakukan itu dengan semangat muda yang sedang mencari identitas. Sebab, semua
orang di kampung tahu, ayahku cuma gemar menikah tanpa pernah peduli pada
anak-anak hasil pernikahannya. Masa kecilku lebih banyak kulewati dengan
kesedihan, kesendirian dan selalu kurindukan seorang ayah yang bisa mengajakku
jalan-jalan.
Setelah
bertahun-tahun kemudian baru kutemukan sosok itu, adik sepupu ayahku yang
pulang kampung karena kecelakaan lalu lintas, sehingga berkaki satu. Dari dia,
aku belajar bagaimana orang bisa sabar melihat kelemahan setiap manusia. Salah
satu caranya dengan melucu. Bersamanyalah aku baru tahu, melucu itu harus
belajar!”Sebelum muncul pertanyaan lain dariku, sekali lagi banyak orang
merubung pak Klown dan terpingkal-pingkal. Lantas kulihat pak Klown ingin
beranjak dari tempat ini, ”Saya akan ke kamar kecil dulu.” Orang-orang tertawa
lagi. Dengan terbirit-birit pak Klown masuk ke kamar kecil itu. Aku sekarang
yang mulai mengantuk. Tiba-tiba kudengar napas pak Klown dan aku bicara
pelan-pelan, ”Pak Klown apa sedang akting?”
”Aku mengantuk, hampir dua malam tidak bisa tidur, keinginan yang sederhana
kan?”
”Ona, kalau kamu mau, aku bisa mendidikmu menjadi pelawak perempuan yang
berkesan tidak bodoh. Ini memang tidak mudah, tapi aku tahu, kau pasti bisa.”
Waktu itu, aku menggelengkan kepala. Aku sedang belajar akuntansi dan dia
bilang begini, ”Menjadi pelawak bukan sekadar mesin tertawa, tapi belajar
menyeimbangkan otak kiri dan kanan dan menghibur orang lain. Itu pelajaran yang
sulit, butuh kesungguhan dan kerja keras.”
”Aku
tahu, tapi aku merasa tidak perlu berada di dunia itu.”
Pak
Klown menganggukkan kepalanya, dan berkata begini, ”Kalau dunia ini tidak ada
pelawak lagi, lantas bagaimana ya? Apa kita cuma harus belajar ilmu kesehatan,
matematika dan cuaca hari ini? Apa dunia pelawak sudah tidak bisa dianggap
sebuah hiburan yang membebaskan diri kita sendiri, kalau sudah banyak klub-klub
malam, mimpi-mimpi yang dirangkai oleh pengusaha dalam bentuk sinetron?”
”Ona,
di tahun-tahun ini aku tidak melihat lagi orang-orang yang bersenda gurau
seolah-olah itu tabu, tidak efisien dan efektif. Karena bentuk dari dunia
modern hanya orang yang bekerja keras dan orang-orang yang melipat bibirnya,
mereka sudah melupakan senda gurau itu bahkan anak-anak yang belajar di SD
tidak bisa tertawa lagi karena beban di sekolahnya terlampau berat.”
Pernyataannya
kelewat berat, ketika kulihat wajahnya dia tidak akting. Lantas pak Klown
meneruskan ceritanya, ”Keempat anakku tidak ingin seperti diriku. Kau tahu
sendiri, setelah tamat SMA mereka kuliah ke luar kota dan jarang pulang.
Teman-teman anakku tidak ada yang tahu kalau bapaknya seorang pelawak, aku
pernah dengar cerita di kos-kosan anakku, kalau aku muncul di TV mereka tidak
pernah ingin menontonku.Aku tahu, aku tidak bisa dibanggakan seperti bapak
teman mereka, apalagi peranku dalam dunia lawak sering sebagai pembantu yang di
pundaknya selalu ada lap dan kelihatan dungu! Penonton ingin melihatku seperti
itu di luar panggung, kalau tidak aneh kan? Seperti mencabik-cabik mimpi
mereka, kau tahu suatu kali anakku membersihkan kamar di kosnya, anakku menaruh
lap di pundaknya, dan seorang temannya yang masuk ke kamar itu nyeletuk, ’Doni,
kamu setolol pelawak itu (dia menyebut namaku).’ Pada waktu itu anakku merasa
dicekik, dia bilang begini,” Itu bapakku! Dia memang tolol, tidak seperti
bapakmu yang pejabat.”
”Pak Klown, pelawak kan pekerjaan yang butuh keseimbangan antara rasio dan rasa
dan panjenengan (Anda) bukan koruptor atau penjahat lainnya.” Pak
Klown tidak menjawab, namun dia kelihatan resah, lantas kami berdua terdiam.Tom
yang baik, kukatakan pada pak Klown, apa yang dia lakukan adalah keberanian,
sekalipun menjadi badut bukan tempat terhormat di masyarakat kini.
Pak
Klown membenarkan ucapanku, dia juga bilang begini, ”Tidak ada yang bisa
dibanggakan dengan menjadi pelawak saat ini, memang sebaiknya teruskan kuliah
dan menjadi akuntan seperti cita-citamu, sebab menjadi orang yang berseberangan
dengan oranglain sungguh tidak mudah, apalagi semua orang pada saat ini punya
cita-cita bersama, di luar itu adalah kegilaan.”
”Tapi
pak Klown bahagia kan bekerja seperti ini?”
”Saya
tidak tahu Ona, apakah ini seperti ketika kita mengisap rokok yang sudah
menjadi kebiasaan rutin dan melekat atau ada hal lain, popularitas dan uang.”
Aku ingin berkata lebih lanjut, tapi kehidupan pak Klown seperti jarum jam yang
berputar terbalik, dia harus segera pulang, dan selang beberapa jam kemudian
melawak ke kota lain.
***
Tom, kau pasti berpikir aku lagi kacau! Sebetulnya bukan itu,
beberapa teman mama menawarkan pekerjaan kalau aku lulus S1. Aku beruntung kan!
Beberapa kakak kelasku yang sudah sarjana belum dapat pekerjaan, apalagi yang
kucari! Sebulan yang lampau orangtua kita berunding akan mengukuhkan hubungan
kita dengan pernikahan. Lantas apalagi? Aku sudah mendapatkan apa pun yang
diimpikan setiap perempuan muda!Tom yang baik, tapi sejak bertemu dengan pak
Klown mimpiku semakin liar dan saling berkejaran. Lantas, aku kepingin mengkaji
ulang kehidupan yang kita impikan bersama. Bekerja di suatu lembaga dari jam
sembilan sampai jam lima sore, memiliki dua anak yang sehat dan manis, rumah
mungil, mobil yang bisa membawa kita pergi ke mana saja.
***
Lantas
di jam satu malam itu kami ngobrol tentang dunia pelawak, pada saat itu kami
tertawa bersama! Dan ketika sampai di Malang, tiba-tiba aku kepingin belajar
tentang ilmu melawak secara keseluruhan. Kemudian kami sepakat untuk mencari
sebuah tempat yang nyaman di mana pak Klown bisa memberikan seluruh ilmu
lawaknya kepadaku. Berhari-hari, sampai bulan ketiga, secara maraton siang
malam, aku belajar sari pati kehidupan dari dunia lawak. Dan akhirnya pak Klown
berkata, ”Kau sudah mendapatkan sebagian ilmuku.”Aku tahu maksudnya, dia akan
menyerahkan seluruhnya. Lantas kumantapkan hari itu untuk menyerap seluruh ilmu
itu. Karena kami adalah dua tubuh yang berbeda, baik itu latar belakang sosial
maupun pendidikan. Kami meleburkan itu, dengan tidur bersama, sehingga menjadi
dua senyawa yang menyatu.Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi!
Terimakasih telah membaca di Aopok.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Piool.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com dan join di komunitas Topoin.com.